Tepung Ubi Jalar
Tepung Ubi Jalar
Ubi jalar merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang penting di Indonesia. Harga jual yang relatif rendah dan terbatasnya pemanfaatan ubi jalar baik sebagai bahan pangan maupun sebagai bahan baku di tingkat industri menjadi sebab melimpahnya ubi jalar di tingkat petani, terutama pada saat panen raya. Upaya pengolahan lebih lanjut dari ubi jalar menjadi tepung merupakan salah satu alternatif pemanfaatan dari ubi jalar (Azizah, 2007).
Tepung ubi jalar putih memiliki kandungan karbohidrat lebih tinggi jika dibandingkan dengan ubi jalar putih. Hal tersebut dikarenakan kadar air pada tepung ubi jalar putih berkurang hingga mencapai 7% akibat proses pengeringan, sesuai pernyataan Antarlina (1998) dalam Widjanarko (2008). Selain kandungan karbohidrat, kandungan nutrisi lain juga meningkat seiring dengan penurunan kadar air. Kandungan nutrisi tepung ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Kimia Tepung Ubi Jalar
Komposisi Kimia |
Jumlah |
Air (%) |
7,00 |
Protein (%) |
5,12 |
Lemak (%) |
0,5 |
Abu (%) |
2,13 |
Karbohidrat (%) |
85,26 |
Serat (%) |
1,95 |
Kalori (cal/100 g) |
366,89 |
Sumber: Antarlina (1998) dalam Widjanarko (2008)
Tepung ubi jalar harus memenuhi syarat mutu untuk menghasilkan produk yang bermutu. Adapun syarat mutu tepung ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Syarat Mutu Tepung Ubi Jalar
Kriteria Kandungan |
Jumlah |
Air (maks) (%) |
15 |
Serat (maks) (%) |
3 |
Pati (min) (%) |
55 |
Total asam (ml 0,1 NaOH/10 g) |
4 |
Abu (maks) (%) |
2 |
HCN |
– |
Sumber: Antarlina (1993)
Adapun proses pembuatan tepung ubi jalar menurut Ginting dkk (2008), yaitu sebagai berikut. Ubi jalar segar dikupas kulitnya, kemudian diiris berbentuk chips atau disawut, lalu direndam larutan natrium metabisulfit 0,2% (2 g/kg ubi) dengan jumlah larutan 3 liter/kg ubi. Selanjutnya ubi dikeringkan hingga kadar airnya mencapai 9-12%. Kemudian digiling dan diayak sehingga menghasilkan tepung ubi jalar.
Pada proses pembuatan tepung ubi jalar digunakan natrium metabisulfit. Menurut Fennema (1994), natrium metabisulfit dapat mencegah reaksi pencoklatan dengan menghambat pembentukan D-glukosa menjadi 5-hidroksi metil furfural dengan membentuk kompleks dengan gula reduksi dan glukosa membentuk hidroksisulfonat. Sulfit juga dapat menghambat grup karbonil dari gula-gula reduksi yang terlibat dalam proses karbonilamo. Ukuran penggunaan natrium metabisulfit maksimum adalah sebanyak 2 gram/kg bahan. Depkes RI (1999) menambahkan bahwa residu sulfit maksimum pada produk makanan berbasis pati sebesar 500 ppm.
Recent Comments