Tepung Kulit Pisang

Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang sangat luas penggunaannya, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan masa kini yang serba praktis. Prosedur pembuatan tepung sangat beragam, dibedakan berdasarkan sifat dan komponen kimia bahan pangan. Namun, secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu pertama bahan pangan yang mudah menjadi cokelat apabila dikupas dan kedua bahan pangan yang tidak mudah menjadi cokelat. Pada umumnya, umbi-umbian dan buah-buahan mudah berubah menjadi cokelat setelah dikupas. Hal ini disebabkan oksidasi dengan udara sehingga terbentuk reaksi pencokelatan oleh pengaruh enzim yang terdapat dalam bahan pangan tersebut (browning enzymatic). Pencokelatan karena enzim merupakan reaksi antara oksigen dan suatu senyawa fenol yang dikatalisis oleh polifenol oksidase. Pembentukan warna coklat pada kulit pisang dipicu oleh reaksi oksidasi yang dikatalisis oleh enzim fenol oksidase atau polifenol oksidase. Enzim tersebut dapat mengkatalis oksidasi senyawa fenol menjadi quinon dan kemudian dipolimerasi menjadi pigmen melaniadin yang berwarna coklat (Mardiah 1996). Bahan pangan tertentu, seperti pada sayur dan buah, senyawa fenol dan kelompok enzim oksidase tersebut tersedia secara alami. Oleh karena itu pencoklatan yang terjadi disebut juga reaksi pencoklatan enzimatis. Untuk menghindari terbentuknya warna cokelat pada bahan pangan yang akan dibuat tepung dapat dilakukan dengan mencegah kontak antara bahan yang telah dikupas dan udara dengan cara merendam dalam air (atau larutan garam 1% dan atau menginaktifasi enzim dalam proses blansing) (Damardjati dan Widowati, 2000).
Salah satu langkah dalam penepungan adalah pengeringan, menurut Muchtadi et al. (1995) pengeringan merupakan salah satu cara untuk mengawetkan bahan pangan yang mudah rusak atau busuk. Tujuan pengeringan yaitu untuk mengurangi kandungan air dalam bahan sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba maupun reaksi yang tidak diinginkan (Gogus dan Maskan, 1998). Selain itu pengeringan juga dapat menurunkan biaya dan memudahkan dalam pengemasan, pengangkutan dan penyimpanan. Bahan yang dikeringkan menjadi ringan dan volume menjadi lebih kecil. Faktor suhu dan lama pengeringan sangat penting karena dapat mempengaruhi mutu produk akhir. Histifarina et al. (2004) menambahkan bahwa proses pengeringan dan penggilingan mengakibatkan penurunan kadar α dan β-karoten tepung wortel, namun demikian kadar air yang diperoleh sudah cukup rendah yaitu 8,6%. Menurut Marpaung dan Sinaga (1995), pengeringan dengan oven pada suhu 40°C yang dikombinasikan dengan pra-pengeringan (direndam dalam larutan garam 2%) menghasilkan volatile reduction substances (VRS) 340,66 mgrek/g dan sifat organoleptik terbaik pada irisan kering bawang putih. Pada wortel, suhu dan lama pengeringan terbaik adalah suhu 50-60°C selama 32 jam dan suhu 50-60°C selama 22 jam untuk kubis (Histifarina et al., 2004).
Metode pengeringan sub atmosferik dengan oven vakum akan membuat air menguap pada suhu yang lebih rendah daripada pengeringan oven biasa. Dalam proses pengeringan ini panas dipindahkan menembus bahan pangan, baik dari udara maupun dari permukaan yang dipanaskan, kemudian uap air dipindahkan dengan udara dan ditampung dalam suatu bagian alat pengering vakum. Kelebihan metode pengeringan dengan oven vakum adalah pengeringan berlangsung cepat, dan dapat meminimalkan kerusakan pada komponen tidak tahan panas yang ada dalam bahan (Estiasih dan Ahmadi, 2009).
Kulit pisang yang masih memiliki banyak nilai fungsional sebenarnya masih dapat diolah lebih lanjut menjadi tepung untuk dimanfaatkan. Dengan menjadikan kulit pisang sebagai tepung, maka pigmen karotenoid dalam kulit pisang akan lebih mudah untuk digunakan oleh masyarakat. Berdasarkan Fatemeh et al. (2012) tahap pembuatan tepung kulit pisang dilakukan dengan mencuci, dan memotong kulit menjadi bagian lebih kecil, lalu dikeringkan selama 24 jam dengan pengering kabinet (hot air dryer) dengan suhu 500C. Setelah itu baru dihancurkan atau digiling dengan blender, dan diayak dengan ayakan 60 mesh. Penelitian lain oleh Alkarkhi et al. (2010) melakukan penepungan kulit pisang dengan cara merendam kulit dalam asam sitrat 0,5% (w/v) selama 10 menit untuk menjaga kulit tetap berwarna kuning dan tidak mengalami pencokelatan, lalu baru dikeringkan dengan oven 600C selama 24 jam. Kulit kering digiling dengan mesin penggiling (Retsch AS200) yang diatur agar ukuran partikel tepung lolos pada ayakan 40 mesh. Tepung yang sudah lolos ayakan disimpan dalam plastik kedap udara di lemari pendingin (15±20C). Ramli et al. (2009) meneliti mengenai penggunaan tepung kulit untuk pembuatan mie, dengan menggunakan teknik penepungan kulit pisang yang sama dengan yang digunakan oleh Alkarkhi et al. (2010). Ramli et al. (2010) juga membahas perbedaan tepung kulit pisang hijau (belum matang) dan tepung kulit pisang kuning (matang) menggunakan metode yang digunakan oleh Alkarkhi et al. (2010).
Menurut Hernawati dan Any (2008) tepung kulit pisang dapat dibuat dengan cara merendam kulit dalam larutan Na-metabisulfit 0,1% selama 15 menit, kemudian dicuci dengan air dan diblansing selama 10 menit dengan air hangat. Selanjutnya dikeringkan dalam pengering kabinet selama 8 jam dengan suhu 40oC. Setelah itu baru ditepungkan dengan alat penepungan. Fungsi Na-metabisulfit adalah untuk mencegah browning non enzimatis karena sulfit dapat berinteraksi dengan gugus karbonil, dimana hasil dari reaksi tersebut akan mengikat melanoidin sehingga dapat mencegah timbulnya warna cokelat.
Nagarajaiah dan Jamuna (2011), melakukan penelitian mengenai aktivitas antioksidan tepung kulit pisang. Kulit pisang sebelum ditepungkan dicuci dengan air destilasi dan langsung dikeringkan dengan oven 50 ±1°C dan dihancurkan dengan blender, baru disimpan dalam toples kedap udara di lemari pendingin pada suhu 4°C. Namun dalam jurnalnya Nagarajaiah dan Jamuna (2011) tidak mencantumkan berapa lama kulit dikeringkan dalam oven. Analisis yang dilakukan oleh Nagarajaiah dan Jamuna (2011), meliputi gabungan analisis yang dilakukan oleh Fatemeh et al. (2012) dan Alkarkhi et al. (2010), juga melakukan uji total karotenoid dengan mengekstrak tepung kulit dalam aseton. Total karotenoid dibaca dengan menggunakan colorimetric dan petroleum eter sebagai larutan standar.
Berdasarkan hasil penelitian Fatemeh et al. (2012) yang menguji aktivitas antioksidan dari tepung kulit, didapatkan hasil 45,08±1,30% untuk tepung dari kulit matang dan 52,66±0,82% untuk tepung dari kulit pisang belum matang (warna hijau). Nagarajaiah dan Jamuna (2011) melakukan uji total karotenoid dan uji ß-karoten, dengan hasil 3,12±0,14 mg karotenoid /100 g tepung dan 1,86±0,01 mg ß-karoten/ 100g tepung.
Adeniji et al. (2007) melakukan penepungan pisang dengan menggabungkan kulit dan buah pisang. Pada penelitian tersebut untuk mencegah browning pisang dan kulitnya diblansing pada air panas (1000C) selama 5 menit sebelum dikupas dan direndam dalam air dingin setelah dikupas. Setelah itu untuk pengeringan dilakukan selama 48 jam pada oven dengan suhu 650C dan digiling. Teknik penepungan yang dilakukan oleh Adeniji et al. (2007) tetap menggunakan suhu <700C.
Di Indonesia sendiri tepung kulit pisang sudah mulai disosialisasikan oleh kementerian pertanian Indonesia sebagai cara untuk diversifikasi pangan. Menurut Kementerian Pertanian Indonesia tepung pisang ambon kuning sangat mudah untuk dibuat, yaitu dengan memotong kulit menjadi bagian kecil-kecil dan menjemur dibawah matahari selama 2 malam (48 jam), atau dioven dengan suhu 60oC agar pengeringan lebih cepat. Setelah itu kulit dihancurkan dengan blender, dan diayak hingga didapatkan tepung pisang.
González et al. (2010) menyatakan kulit pisang tinggi akan serat, yaitu 50% dari berat kering, serta masih mengandung protein (7% berat kering), asam amino essensial, asam lemak tak jenuh dan juga potasium. Pada kulit pisang juga mengandung senyawa fenolik antara 0,9-3 g/100 g berat kering. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suparmi dan Harka (2012) kulit pisang ambon kuning memiliki kandungan karotenoid total sebesar 6,203±0,004 µg/g dan konversi karotenoid pro-vitamin A sebesar 124,06±0,08 IU. Someya et al. (2002) juga mengidentifikasi bahwa dalam kulit pisang terdapat karotenoid, berupa β-karoten, α-karoten dan beberapa jenis xantofil yang setara dengan 300–400 µg lutein/100 g. Karotenoid yang terdapat pada kulit pisang dapat digunakan sebagai pro-vitamin A yang dapat membantu mengatasi masalah kekurangan vitamin A di dunia, terutama di Indonesia. Dalam kulit pisang juga ditemukan anti bakteri yang efektif untuk menghalangi bakteri gram positif dan gram negatif, yaitu asam suksinat, ß-sitosterol, asam palmitat, dan asam malat (Parashar et al., 2014). Menurut balai penelitian dan pengembangan industri Jawa Timur kulit pisang masih memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap yang tertera pada Tabel berikut:
Tabel Kompisisi zat gizi kulit pisang per 100 gram bahan
Zat Gizi |
Kadar
|
Air (g) |
68-70
|
Karbohidrat (g) |
18,50
|
Lemak (g) |
2,11
|
Protein (g) |
0,32
|
Kalsium (mg) |
715
|
Fosfor (mg) |
117
|
Zat Besi (mg) |
1,60
|
Vitamin C (mg) |
0,12
|
Vitamin B (mg) |
17,50
|
Sumber :Balai Penelitian Dan Pengembangan Industri Jawa Timur (2004)
Tartrakoon et al. (1999) menyatakan bahwa tingkat kematangan kulit pisang mempengaruhi kandungan nutrisi yang ada dalam kulit, seperti yang tertera pada Tabel berikut:
Tabel Kandungan nutrisi dalam berbagai tingkat kematangan kulit pisang
Komposisi Nutrisi |
Kulit pisang
|
Mentah
|
Hampir matang
|
Matang
|
Bahan kering (%) |
91,62
|
92,38
|
95,66
|
Protein kasar (%) |
5,19
|
6,61
|
4,77
|
Lemak kasar (%) |
10,66
|
14,2
|
14,56
|
Serat kasar (%) |
11,58
|
11,1
|
11,59
|
Abu (%) |
16,3
|
14,27
|
14,58
|
Kalsium (%) |
0,37
|
0,38
|
0,36
|
Fosfor (%) |
0,28
|
0,29
|
0,23
|
Energi (kcal/kg) |
4.383
|
4.692
|
4.592
|
Sumber : Tartrakoon et al. (1999)
Recent Comments